Judul
: Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis :
Ahmad Tohari
Halaman :
170 Halaman
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
ISBN
: 978-602-03-0513-4
Kategori :
Novel
“Perubahan
yang mendasar mulai merambah Desa Tanggir pada tahun 1970-an. Suara orang
menumbuk padi hilang, digantikan suara mesin kilang padi. Kerbau dan sapi pun
dijual karena tenaganya sudah digantikan traktor. Sementara, di desa yang
sedang berubah itu muncul kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak
jujur. Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelamatkan desanya dari
kecurangan kepala desa yang baru malah tersingkir.”
Di kaki Bukit Cibalak
terdapat sebuat desa bernama Desa Tanggir. Desa yang dulunya tentram dengan
masyarakat yang tak mengenal mesin segera berubah pada tahun 1970-an. Suara
mesin telah terdengar dimana-mana, di seluruh desa. Tak ada lagi sapi dan kerbau
membajak sawah, tak ada lagi suara orang menumbuk padi. Perubahan mendasar yang
berlangsung di Desa Tanggir diikuti dengan terpilihnya lurah yang tidak jujur,
lurah yang licik dan penuh korupsi.
Adalah Pambudi seorang
pemuda jujur yang masih mau memikirkan nasib desanya. Seorang pemuda yang
gelisah melihat ketidakadilan merajalela di desanya. Ia ingin sekali melakukan
sesuatu untuk menghentikan perilaku lurahnya yang semena-mena, terutama pada
warganya yang miskin. Namun apa daya, seringkali orang kecil dan tak punya
kuasa seperti Pambudi harus menerima kesewenangan juga dari sang lurah. Lurah
melakukan fitnah pada Pambudi sehingga Pambudi harus menyingkir ke luar Desa
Tanggir, dan ia memilih Jogja. Di Kota Jogjalah Pambudi bertemu Topo temannya
ketika SMA dulu yang juga sedang kuliah di Jogja. Berkat motivasi dari Topo
akhirnya Pambudi memutuskan untuk masuk kuliah karena ia sadar bahwa
satu-satunya cara untuk bisa melawan lurahnya yang serakah adalah dengan
menaikkan derajatnya sendiri terlebih dahulu yaitu dengan pendidikan. Ia ingin
menghadapi sang lurah secara jantan, lewat jalur hukum.
Pambudi beruntung
karena ia memiliki kesempatan bekerja sekaligus belajar. Selama kuliah ia juga
bekerja di harian Kalawarta Jogja sebagai jurnalis. Bapak kepala harian
Kalawarta dengan senang hati menawarkan pekerjaan tersebut pada Pambudi karena
tahu Pambudi pekerja keras dan jujur. Melalui tulisan-tulisannya Pambudi
menganalisis permasalahan yang di hadapi desa seperti Desa Tanggir dan
mengkritik kebijakan para pejabatnya. Tulisanlah yang begitu ampuh membuat
mata, telinga dan hati terbuka. Tulisan Pambudi telah membuat para pejabat kecamatan
dan kabupaten mengambil langkah untuk menanggulangi masalah yang terjadi di
Desa Tanggir.
Keinginan Pambudi untuk
menyelamatkan desanya lambat laun berjalan lancar namun tidak dengan kisah
cintanya. Perasaan yang telah lama ia pendam untuk seorang gadis desanya harus
pupus karena sang gadis terlanjur di peristri si lurah yang licik tersebut. Tanpa
disadari ternyata selama ini ada seorang perempuan yang juga mengharapkan cinta
Pambudi. Pambudi hanya perlu membuka mata hatinya untuk melihat petrempuan
tersebut.
Isu lingkungan hidup
menjadi hal yang penting dalam novel ini. Bagaimana ketika mesin-mesin telah
berhasil menggantikan tenaga manusia. Seiring dengan itu pola kehidupan
masyarakatpun berubah. Banyak masyarakat yang tiba-tiba terlihat menjadi orang
kaya dengan memiliki motor dan barang-barang elektronik padahal mereka telah
menjual hal pokok yang mereka miliki seperti sawah dan kerbau mereka. Politik
yang penuh kelicikan, korupsi dan kesewenangan juga menjadi isu penting yang
ada dalam cerita ini. Isu-isu ini benar-benar membuat kita berpikir. Kita jadi
ikut memperhatikan sekitar kita, ikut menganalisis apa yang tengah terjadi. Kisah
dalam novel ini masih tetap terjadi sampai saat ini.